Cerpen - Sebuah Pencapaian
Karya : Kusmiati (SMA Negeri Sumpiuh)
Cahaya
yang biasanya sudah nampak di semak belukar ufuk timur kini entah sembunyi di
mana. Udara kali ini sungguh menyayat tubuhku. Tambah lagi tetes-tetes hujan
yang membasahi pohon-pohon tua di luar sana yang membuat kedua bola mata ini
enggan untuk kubuka. Sebenarnya, dalam hati kecil ini sudah ada niatan untuk
membukanya. Tapi apa daya aku tak kuasa melawan.
Dari pojok dapur ibu mulai
mengeluarkan suaranya yang begitu melengking yang membuat mimpiku tiba-tiba
buyar seketika.
“Arin… Arin…
bangun udah jam enam inih!.” teriak ibu.
“Apaan ibu sih,
inikan hari minggu, lagian lagi nyenyak nyenyaknya tidur kok malah diganggu.” sanggah
arin sambil mengucek kedua bola matanya
“Nyenyak-nyenyaknya
tidur? Bilang apa kamu? Coba ulangi! Ibu
ingin dengar sekali lagi.” tanya ibu
“Eh… enggak bu,
itu tadi kebawa mimpi, tadi kak Riski nyuruh aku beli bubur ayam sebelah yang
tukangnya udah naik haji itu loh bu.” jawabku
sambil menggaruk kepalanya karena takut
“Ini dia nih
efek ninggalin sholat, udah besar gitu kok masih saja nggak bisa ngatur waktu,
gimana sih kamu Rin? Sampai kapan mau kayak gini terus? Makanya kalau lagi
dibilangin sama ibu itu didengerin , jangan hanya masuk telinga kanan terus
keluar telinga kiri.”
“Iya bu, maafin Arin, Arin janji nggak
bakal ngulangin lagi.”
“Udah sana mandi gih! Entar baru
sarapan.” perintah ibu
“Okeh bu.”
jawabku semangat
***
Aku
bernama Arina Saputri, sekarang aku masih duduk di bangku kelas tiga SMP. Aku
sedang nungguin detik-detik hari kelulusanku. Semua keluargaku sebenarnya
sangat mempedulikanku. Bapakku bernama Hadi, dia sangat menyayangiku sampai
bela-belain pergi pagi pulang pagi untuk mencari nafkah buat nyekolahin aku
sampai ke Perguruan Tinggi nanti. Dia adalah sosok seorang bapak yang sangat
luar biasa bagiku. Dia mampu mengatur posisinya sebagai bapak bagi anak-anaknya
dan juga imam bagi keluarga kecilnya. Ibuku bernama Inem, dia adalah seorang
ibu yang tegas, Cuma terkadang aku yang berpikir salah tentangnya. Tapi ibu
nggak salah kok bersikap seperti itu, ibu hanya ingin aku mejadi anak yang
selalu nurutin apa kata orang tua. Kalau dipikir-pikir, setiap perkataan ibu
memang banyak banget benarnya. Meski begitu, aku sangat menyayangi ibu,
buktinya pas aku masih duduk di kelas dua SD aku pernah berantem sama temanku
hanya karena temanku itu bilang kalau ibuku cocok jadi pembantu gara-gara
namanya Inem. Aku sangat tidak senang akan ucapan itu. Aku menangis terus,
sampai ibu guru nganterin aku pulang. Selain bapak dan ibu, di keluargaku masih
ada satu orang lagi yaitu kakakku. Dia bernama Riski Pratama, dia usil tapi
juga penyayang. Dia hanya beda dua tahun saja dariku. Dia sangat mempedulikanku
dan aku pun juga menyayanginya. Karena usia kami yang tidak berbeda jauh, kami
menjadi sangat dekat selayaknya seorang sahabat. Kakak tak henti-hentinya
memberiku banyak motivasi agar aku semangat belajar guna menggapai mimpi
besarku.
***
Aku
melamun di kamarku. Tubuh ini ditopang oleh kursi setengah baya yang ada di
kamar berukuran sedang ini. Tanganku kuletakkan di meja dan kugunakan untuk
menyangga pipi ini. Waktu bergulir, aku pun mulai berpikir, tanpa kusadari
kakak sudah ada di belakangku untuk menepuk kedua pundak mungilku ini.
“Dorrr…” teriak kak Riski
“Kakak kau mengejutkanku saja.” ucapku
dengan nafas tak teratur
“Apa pekerjaanmu itu hanya melamun rin?
Bukannya bantu ibu apa gimana, eh… malah ini asik-asikan ngelamun. Ngelamunin
siapa sih sebenarnya? Ngelmunin dia yah?.” ledek Riski
“Aish… dia? Dia siapa? Ini yah kak, aku
ini sedang berpikir keras bagaimana strategiku buat ngadepin UN yang udah
semakin dekat. Aku nggak mau lagi jadi yang nomor lima kayak pas waktu SD, aku
ingin jadi yang nomor satu kak. Gimana caranya yah kak?.” pintaku dengan muka
memelas
“Ini yah rin kakak bilangin, ada pepatah
yang bilang kalau perubahan dalam hidup memang tidak menjamin keberhasilan,
namun tidak ada keberhasilan tanpa perubahan. Jadi intinya, kamu itu harus
ngelakuin perubahan meski sekecil apapun, setelah itu kamu harus nyerahin
segalanya sama yang di atas, apapun hasilnya kita harus terima dengan ikhlas.
Contohnya kamu harus ngerubah gaya belajarmu yang sudah baik menjadi lebih baik
lagi.” nasihat kakak
“Kata-kata kakak akan Arin ingat
selamanya, Arin akan berusaha melakukan perubahan-perubahan yang kakak maksud
agar Arin bisa lebih maju dari yang sekarang.” janjiku
“Iya rin, kakak akan selalu mendukung
dan mendoakan segalanya yang terbaik buat kamu.” ucap kakak
“Terimakasih kak, Arin juga akan
mendoakan semua yang terbaik buat kakak, Arin sayang banget sama kakak.” kataku
Hari-hari
yang aku lewati memang indah, banyak masukan dan kasih sayang dari orang-orang
terdekat di sekitarku. Aku merasa jadi puteri raja meski tak bergelimang harta,
aku jadi tahu bahwa materi tak selamanya menjamin kebahagiaan seseorang. Kasih
sayang yang tulus saja sudah cukup untuk hidupku ini sekaligus menjadi harta
terbesar dalam perjalanan hidup ini.
***
Kewajiban
dan rutinitas ini harus aku nomor satukan, aku harus belajar dengan giat. Aku
berangkat ke sekolah dengan banyak sekali kebimbangan di hati. Berjalan pun
seperti orang yang tidak memiliki tujuan hidup. Mau berkata iya tapi aku selalu
melihat kebelakang yang membuatku berkata tidak.
“Dia adalah penyemangatku, dia memberi
banyak sekali kenangan indah. Aku akan melepaskannya? Oh tidak, berpikir apa
aku ini.” gumamku dalam hati
Setibanya
di pelataran sekolah, dia menghampiriku dari belakang.
“Eh… riko, ada apa?.” kataku lesu
“Kok kamu gitu sih rin, udah bosen sama
aku ya?.” tanya riko
“Enggak kok, aku cuma lagi bingung aja.”
jawabku
“Bingung kenapa Arin sayang? Jangan
bingung-bingung dong! Kan ada aku di sini.” tanya riko kembali
“Ih apaan kamu sih? Nggak usah sayang-sayangan
kali malu dengernya.” jawabku sambil tersenyum
“Nah gitu dong senyum kan cantik
dilihatnya.” kata riko
“Jangan ngegombal deh, sana masuk
kelas!.” pintaku
“Okeh sayang.” jawab riko ngeledek
***
Di
kelas aku mulai berpikir. Aku disekolahin sama bapak dan ibu tujuannya agar aku
fokus belajar tapi kenapa aku malah kayak begini. Aku telah mengecewakan
keluargaku. Aku harus mulai melihat mana yang benar dan mana yang salah. Aku
harus melakukan perubahan seperti apa yang dikatakan kakak.
“Aku harus mengakhiri semua ini, aku
akan mutusin Riko dan fokus belajar, ini demi kebaikanku dan juga Riko.” gumamku
dalam hati sembari menitikan air mata
***
Bel
pulang sekolah berbunyi, kebetulan sekali aku bertemu Riko. Aku pun mengatakan
kepadanya jika aku ingin membicarakan sesuatu. Kita berdua memutuskan untuk
membicarakan hal ini di taman sekolah.
“Riko? Sebelumnya maafin aku ya?.” kataku bimbang
“Ada apa sih rin? Kok kamu kelihatan
sedih?.” tanya riko
“Riko aku mau kita putus.”
“Loh… emang kenapa rin? Aku salah apa
sama kamu?.” tanya riko penasaran
“Kamu nggak salah kok, aku ingin kita
berdua bisa fokus belajar, ini demi kebaikan kita, jika kita berjodoh tuhan
pasti akan mempertemukan kita kembali suatu saat nanti.” jawabku
“Kalau ini keputusan yang terbaik, aku
akan menerimanya.” ucap Riko
“Sebenarnya berat banget nglepasin kamu,
tapi mau gimana lagi.” kata Arin
“Kita kan masih bisa bersahabat rin,
bukan berarti kita putus semuanya akan berakhir.” ucap Riko
“Makasih ya, kamu udah mau ngertiin
aku.” jawab Arin
***
Satu
bulan berlalu sejak kejadian aku mutusin Riko dan sampai sekarang kita masih bersahabat.
Tanpa kusadari ternyata UN sudah semakin dekat. Dihitung pakai jari saja bisa,
mau dibilang takut sebenarnya tidak, dibilang nggak pusing sebenarnya pusing
juga. Campur aduk banget deh ini rasa. Teman-teman banyak yang mengeluh ini
itu. Ada yang bilang kalau UN itu nakutin, bikin tegang, dan lebih parahnya
lagi ada yang bilang kalau UN itu penghalang. Dengan segenap rasa keinginan
tahuku, aku pun meminta pendapat bapak akan hal itu.
“Pak, Arin mau tanya pendapat bapak
tentang apa yang teman Arin katakan tentang UN.” tanyaku
“Memangya temanmu itu bilang apa toh
rin?” tanya bapak balik
“Ini pak tadi disekolahan masa ada teman
Arin yang bilang kalau UN itu penghalang.” jawabku enteng
“Ualah dalah… pemikiran kuno macam apa
itu. Tentu saja nggak benar, coba renungin apa yang bapak bilang, kalau UN memang benar sebagai
penghalang, kenapa malah banyak orang yang umurnya sudah bisa dibilang tua
malah ikut kejar paket? Mereka berusaha untuk mendapatkan ijazah dengan cara
mengikuti UN yang mana di masa mudanya mereka
tidak memiliki kesempatan untuk itu, dan kini mereka berusaha untuk mengambil
apa yang seharusnya menjadi miliknya dengan tujuan hidupnya akan lebih baik
lagi.” ucap bapak
“Kalau begitu UN bukanlah penghalang ya
pak? Tapi menjadi awal untuk sebuah kehidupan yang lebih baik.” tanyaku kembali
“Iya betul sekali kamu rin.” jawab bapak
“Kalau begitu terimakasih pak, sebagai
hadiahnya Arin akan buatkan secangkir kopi untuk bapak.” kata Arin
“Hahaha… ada-ada saja kamu rin.” tawa
bapak
***
Saatnya
tiba, UN sudah ada di depan mata. Aku harus bersikap lebih tenang agar hasilnya
maksimal. Sebelum bel masuk berbunyi, banyak temanku yang menanyakan kenapa aku
bisa setenang ini.
“Rin, kok bisa sih kamu setenang itu?
Padahal aku takut banget loh.” tanya temanku Dewi
“Kuncinya percaya diri wi, kalau kamu yakin
kamu bisa menyerap dengan baik proses belajar selama tiga tahun ini, aku juga
yakin kamu pasti akan bisa.” jawabku santai
“Oh begitu, jadi masalahnya adalah aku
belum bisa menyerap proses belajarku selama tiga tahun ini dengan baik ya?.” tanya
Dewi
“Itu mah karena kamunya yang malas.” jawabku
sambil tertawa
“Mentang-mentang udah belajar dengan
matang jadi sombong nih.” sindir dewi
“Maaf wi, ya nggak gitu lah. Lagian kamu
pacaran mulu sama kakak celana abu-abu itu kan?.” tanyaku
“Ih apaan sih? Nggak jelas.” jawab Dewi
“Jujur aja deh! Muka kamu aja udah kayak
kepiting rebus. Masih aja nggak mau ngaku.” ledek Arin
“Awas kamu ya rin” kata Dewi mengancam
***
Aku
mengerjakan soal UN dengan sangat optimis, sungguh-sungguh, dan teliti. Yang
ada dalam benakku adalah melakukan yang terbaik sesuai dengan kemampuan yang
aku miliki. Aku berharap sangat besar, semoga saja nilaiku cukup memuaskan agar
bisa membuat kedua orang tuaku. Selain itu, aku juga ingin membuktikan kepada
kakakku bahwa aku telah melakukan perubahan yang mengantarkanku pada sebuah
keberhasilan. Optimis adalah kunci kehidupan. Jika aku mengharapkan keburukan
maka ia akan datang, dan sebaliknya jika aku memimpikan kebaikan dan
keberhasilan maka tak ada yang tidak mungkin. Aku akan memimpikan keberhasilan
dan aku sangat yakin keberhasilan pasti akan menghampiriku esok hari.
***
Tiga
minggu telah berlalu, tanpa disadari pengumuman akan segera diberikan. Ibu datang
bersamaku untuk acara perpisahan dan pelepasan ini. Sekarang aku justru
merasakan takut yang luar biasa. Aku takut jika hasil yang aku raih tidak
sesuai dengan apa yang aku dan keluargaku harapkan. Aku takut mengecewakan kedua
orang tuaku dan juga kakakku yang telah memberiku sebuah kepercayaan yang cukup
besar. Aku pun mulai membayangkan yang tidak-tidak.
“Rin, kamu kenapa? Ibu lihat kok kamu
gelisah?.” tanya ibu
“Arina takut bu.”
“Takut kenapa rin?.” tanya ibu kembali
“Bu, Arin takut kalau pencapaian yang
aku capai nggak sepadan dengan apa yang bapak, ibu, dan kakak harapkan.”
“Kan kamu yang bilang kalau optimis itu
kuncinya, berharap sesuatu yang baik aja biar hasilnya juga baik rin.” saran ibu
“Baik bu, Arin akan berpikiran yang
positif.”
***
Apapun
hasilnya nanti, setidaknya aku sudah memberikan yang terbaik. Aku juga sudah
menenangkan hati ini dan berpikiran positif, semoga saja tuhan mengabulkan
doaku setelah mendengarkan semua keinginan yang ada dalam hati kecil ini. Acara
demi acara telah dilewati. Merasa berjalan di karpet merah dengan kebaya
merahku ini pun sudah aku rasakan. Yang belum adalah pengumuman siswa terbaik
yakni sepuluh besar. Hati dag dig dug seperti sound system mau pecah pu aku
rasakan saat ini. Rasanya jantung ini seakan-akan mau copot saja. Peringkat 10,
9, 8, 7, 6, 5, dan 4 sudah dibacakan.
“Kenapa namaku belum disebut juga, aku
takut, murid unggulan di sekolah ini sudah dipanggil semua, lah mana namaku?
Kenapa masih belum disebut juga?.” gumamku dalam hati
“Arin, jangan bengong terus, ayo naik ke
atas panggung. Jangan bikin malu, udah pada nungguin dari tadi tuh.” ucap ibu
“Emang Arin dapat peringkat berapa bu?
Jangan ngeledek Arin bu.” tanyaku lesu
“Ih nih anak, kamu dapat peringkat satu
nak. Kamu siswa terbaik”
“Ah mana mungkin, ibu mah ngaco.” kataku
tak percaya
Teman
yang ada di belakangku menepuk pundakku. Dia menyuruhku untuk maju, dia juga
mengucapkan selamat padaku. Pembawa acara pun memanggil namaku kembali “Arina
Saputri” karena aku belum juga naik ke atas panggung. Akupun mulai
mempercayainya. Ini anugerah yang terindah. Aku bisa menggapai sebagian mimpi
besarku. Di atas panggung aku diberi penghargaan sebagai bentuk apresiasi dan
juga ucapan selamat dari guru-guruku. Sungguh senang hati ini. Ini pencapaian
tertinggi yang pernah aku raih selama aku hidup. Hidup memang suatu tantangan
yang harus dihadapi dan perjuangan yang harus dimenangkan. Kesuksesan bukanlah
milik mereka yang pintar dan cerdas. Sukses adalah milik mereka yang memiliki
mimpi dan berjuang mati-matian untuk menggapai mimpi itu. Aku ini memang bukan
siapa-siapa namun bukan berarti tidak bisa apa-apa.
***
Sesamapainya
di rumah, bapak, ibu, dan kakak memberiku ucapan selamat. Aku sangat bahagia
mendengarnya.
“Arin, selamat ya! Kamu berhasil
membuktikan perubahan yang kau lakukan dengan hasil yang memuaskan ini.” ucap
kakak
“Iya kakak, semua ini tidak lain berkat
dukungan dan doa kakak yang selalu menyertai Arin, terimakasih kak.” jawabku
“Bapak bangga padamu rin, tidak sia-sia
bapak banting tulang nyekolahin kamu.” ucap bapak
“Makasih pak, Arin bangga punya seorang
bapak yang bertanggung jawab seperti bapak.”
“Dijaga terus ya nak pencapaian ini,
semoga bisa menjadi acuan untuk menjadi yang lebih baik lagi kedepannya.” doa
bapak
“Amin…” ucap kakak, ibu, dan aku
bersamaan
“Arin sayang sama kalian semua.” kataku
haru
***
Sinar
rembulan malam ini sungguh terang memberikan kehangatan bagiku. Berbaring pun
terasa sangat nyaman seakan bintang turun mendekat dan menemaniku.. terimakasih
tuhan untuk semua kebahagiaan ini. Aku teringat semua kenangan indah yang aku
miliki, semangat yang diberikan kakak, dan kasih sayang bapak serta ibu. Aku
membayar mahal kebahagiaan ini dengan melepas cinta pertamaku. Namun aku tak
akan pernah menyesalinya, ini sudah menjadi jalannya, setidaknya aku sudah
pernah mendapatkan cintanya. Aku mulai meneteskan air mata. Aku merasa semua
kebahagiaan dunia telah aku dapatkan. Entah mengapa kedua bola mata ini sangat
berat untuk terus kubuka, aku ingin sekali menutupnya. Aku pun tertidur dengan
sangat pulas dengan senyuman kecil di pipiku.
***
Di
pagi harinya, ibu sudah mulai memasak makanan kesukaanku sebagai hadiah untuk
keberhasilanku kemarin. Karena aku tak kunjung bangun, ibu menyuruh kakakku
untuk membangunkanku.
“Riski, coba kamu bangunin Arina. Sudah
jam segini kok belum bangun juga.” perintah ibu
“Baik bu. Riski akan pergi ke kamarnya
Arina.” jawab Riski
Sesampainya
di depan kamar, Riski mengetuk pintu sampai tiga kali.
“Arina nggak biasanya kayak gini. Lagi
ngapain tuh anak dipanggil kok nggak nyaut sama sekali.” gumam Riski dalam hati
“Rin, bangun udah jam tujuh nih! Mandi
buruan entar sarapan bareng.” teriak Riski
Karena
tidak membukakan pintu, akhirnya kakak terpaksa masuk. Riski tak percaya akan
hal ini.
“Masa sih Arina belum bangun jam segini.
Hal yang aneh. Saking bahagianya wajahnya bisa secerah ini.” gumam Riski dalam
hati
Riski
mencoba untuk membangunkan Arin dengan menggerak-gerakan tubuh Arin.
“Tangannya kok dingin banget sih nih
anak.” gumam Riski kembali
Riski
mencoba membangunkan kembali tapi Arina tak kunjung membukakan matanya. Riski
berpikir untuk mengagetinya dengan menutup hidungnya. Saat hendak menutupnya,
Riski merasa kalau Arina nggak bernafas. Riski mulai panik dan akhirnya menangis
tersedu-sedu.
***
Bapak
dan ibu yang mendengar tangisan putera sulungnya langsung berlari untuk
menghampirinya.
“Riski kamu kenapa? Kenapa kamu nangis
begini?.” tanya ibu panik
“Arina
bu.” jawab Riski sambil menangis
“Arina kenapa? Dia sedang tidur kok.” tanya
ibu kembali
“Ibu periksa saja nafasnya!.” pinta
Riski
Akhirnya
bapak yang memeriksanya. Bapak terkejut dan menangis. Ibu yang belum bisa
menerima kenyataan malah membentak bapak dan Riski.
“Kalian berdua kok tega sih bilang
sesuatu yang buruk tentang Arina? Dia keluarga kita!.” tanya ibu dengan nada
tinggi
“Bu, ibu harus terima kenyataan. Anak
bungsu kita telah kembali pada pangkuan Allah SWT.” jawab bapak dalam
tangisannya
“Nggak pak, nggak mungkin dia pergi
secepat ini.” kata ibu lemah sambil menitikan air mata
“Ibu yang ikhlas, relakan dia pergi
dengan tenang.” pinta bapak
***
Aku
meninggalkan keluargaku dengan sangat cepat. Aku meninggalkan sebuah prestasi
yang cukup membuat bangga keluargaku. Meski sudah merelakan kepergiaanku namun
masih tetap saja ada kesedihan yang mendalam di hati mereka.
“Perpisahan bukanlah akhir dari
segalanya rin, melainkan sebuah jalan untuk menuju sebuah keabadian. Kakak akan
berusaha menggapaikan mimpimu yang belum sempat kau gapai. Percayalah kakak
menyayangimu lebih dari banyaknya bintang di langit dan melimpahnya ikan di
laut. Kakak akan selalu merindukanmu di sini.” ucap Riski sembari meneteskan
air mata
~
SELESAI ~
0 comments:
Post a Comment