Tuesday, April 19, 2016

Cerpen - Sebuah Pencapaian

Cerpen - Sebuah Pencapaian
Karya : Kusmiati (SMA Negeri Sumpiuh)


                Cahaya yang biasanya sudah nampak di semak belukar ufuk timur kini entah sembunyi di mana. Udara kali ini sungguh menyayat tubuhku. Tambah lagi tetes-tetes hujan yang membasahi pohon-pohon tua di luar sana yang membuat kedua bola mata ini enggan untuk kubuka. Sebenarnya, dalam hati kecil ini sudah ada niatan untuk membukanya. Tapi apa daya aku tak kuasa melawan.
            Dari pojok dapur ibu mulai mengeluarkan suaranya yang begitu melengking yang membuat mimpiku tiba-tiba buyar seketika.
“Arin… Arin… bangun udah jam enam inih!.”  teriak ibu.
“Apaan ibu sih, inikan hari minggu, lagian lagi nyenyak nyenyaknya tidur kok malah diganggu.” sanggah arin sambil mengucek kedua bola matanya
“Nyenyak-nyenyaknya tidur? Bilang apa kamu? Coba ulangi! Ibu  ingin dengar sekali lagi.” tanya ibu
“Eh… enggak bu, itu tadi kebawa mimpi, tadi kak Riski nyuruh aku beli bubur ayam sebelah yang tukangnya udah naik haji itu loh bu.”  jawabku sambil menggaruk kepalanya karena takut
“Ini dia nih efek ninggalin sholat, udah besar gitu kok masih saja nggak bisa ngatur waktu, gimana sih kamu Rin? Sampai kapan mau kayak gini terus? Makanya kalau lagi dibilangin sama ibu itu didengerin , jangan hanya masuk telinga kanan terus keluar telinga kiri.”
“Iya bu, maafin Arin, Arin janji nggak bakal ngulangin lagi.”
“Udah sana mandi gih! Entar baru sarapan.” perintah ibu
“Okeh bu.” jawabku semangat
***
            Aku bernama Arina Saputri, sekarang aku masih duduk di bangku kelas tiga SMP. Aku sedang nungguin detik-detik hari kelulusanku. Semua keluargaku sebenarnya sangat mempedulikanku. Bapakku bernama Hadi, dia sangat menyayangiku sampai bela-belain pergi pagi pulang pagi untuk mencari nafkah buat nyekolahin aku sampai ke Perguruan Tinggi nanti. Dia adalah sosok seorang bapak yang sangat luar biasa bagiku. Dia mampu mengatur posisinya sebagai bapak bagi anak-anaknya dan juga imam bagi keluarga kecilnya. Ibuku bernama Inem, dia adalah seorang ibu yang tegas, Cuma terkadang aku yang berpikir salah tentangnya. Tapi ibu nggak salah kok bersikap seperti itu, ibu hanya ingin aku mejadi anak yang selalu nurutin apa kata orang tua. Kalau dipikir-pikir, setiap perkataan ibu memang banyak banget benarnya. Meski begitu, aku sangat menyayangi ibu, buktinya pas aku masih duduk di kelas dua SD aku pernah berantem sama temanku hanya karena temanku itu bilang kalau ibuku cocok jadi pembantu gara-gara namanya Inem. Aku sangat tidak senang akan ucapan itu. Aku menangis terus, sampai ibu guru nganterin aku pulang. Selain bapak dan ibu, di keluargaku masih ada satu orang lagi yaitu kakakku. Dia bernama Riski Pratama, dia usil tapi juga penyayang. Dia hanya beda dua tahun saja dariku. Dia sangat mempedulikanku dan aku pun juga menyayanginya. Karena usia kami yang tidak berbeda jauh, kami menjadi sangat dekat selayaknya seorang sahabat. Kakak tak henti-hentinya memberiku banyak motivasi agar aku semangat belajar guna menggapai mimpi besarku.
***
            Aku melamun di kamarku. Tubuh ini ditopang oleh kursi setengah baya yang ada di kamar berukuran sedang ini. Tanganku kuletakkan di meja dan kugunakan untuk menyangga pipi ini. Waktu bergulir, aku pun mulai berpikir, tanpa kusadari kakak sudah ada di belakangku untuk menepuk kedua pundak mungilku ini.
“Dorrr…” teriak kak Riski
“Kakak kau mengejutkanku saja.” ucapku dengan nafas tak teratur
“Apa pekerjaanmu itu hanya melamun rin? Bukannya bantu ibu apa gimana, eh… malah ini asik-asikan ngelamun. Ngelamunin siapa sih sebenarnya? Ngelmunin dia yah?.” ledek Riski
“Aish… dia? Dia siapa? Ini yah kak, aku ini sedang berpikir keras bagaimana strategiku buat ngadepin UN yang udah semakin dekat. Aku nggak mau lagi jadi yang nomor lima kayak pas waktu SD, aku ingin jadi yang nomor satu kak. Gimana caranya yah kak?.” pintaku dengan muka memelas
“Ini yah rin kakak bilangin, ada pepatah yang bilang kalau perubahan dalam hidup memang tidak menjamin keberhasilan, namun tidak ada keberhasilan tanpa perubahan. Jadi intinya, kamu itu harus ngelakuin perubahan meski sekecil apapun, setelah itu kamu harus nyerahin segalanya sama yang di atas, apapun hasilnya kita harus terima dengan ikhlas. Contohnya kamu harus ngerubah gaya belajarmu yang sudah baik menjadi lebih baik lagi.” nasihat kakak
“Kata-kata kakak akan Arin ingat selamanya, Arin akan berusaha melakukan perubahan-perubahan yang kakak maksud agar Arin bisa lebih maju dari yang sekarang.” janjiku
“Iya rin, kakak akan selalu mendukung dan mendoakan segalanya yang terbaik buat kamu.”  ucap kakak
“Terimakasih kak, Arin juga akan mendoakan semua yang terbaik buat kakak, Arin sayang banget sama kakak.” kataku
Hari-hari yang aku lewati memang indah, banyak masukan dan kasih sayang dari orang-orang terdekat di sekitarku. Aku merasa jadi puteri raja meski tak bergelimang harta, aku jadi tahu bahwa materi tak selamanya menjamin kebahagiaan seseorang. Kasih sayang yang tulus saja sudah cukup untuk hidupku ini sekaligus menjadi harta terbesar dalam perjalanan hidup ini.
***
            Kewajiban dan rutinitas ini harus aku nomor satukan, aku harus belajar dengan giat. Aku berangkat ke sekolah dengan banyak sekali kebimbangan di hati. Berjalan pun seperti orang yang tidak memiliki tujuan hidup. Mau berkata iya tapi aku selalu melihat kebelakang yang membuatku berkata tidak.
“Dia adalah penyemangatku, dia memberi banyak sekali kenangan indah. Aku akan melepaskannya? Oh tidak, berpikir apa aku ini.” gumamku dalam hati
Setibanya di pelataran sekolah, dia menghampiriku dari belakang.
“Eh… riko, ada apa?.” kataku lesu
“Kok kamu gitu sih rin, udah bosen sama aku ya?.” tanya riko
“Enggak kok, aku cuma lagi bingung aja.” jawabku
“Bingung kenapa Arin sayang? Jangan bingung-bingung dong! Kan ada aku di sini.” tanya riko kembali
“Ih apaan kamu sih? Nggak usah sayang-sayangan kali malu dengernya.” jawabku sambil tersenyum
“Nah gitu dong senyum kan cantik dilihatnya.” kata riko
“Jangan ngegombal deh, sana masuk kelas!.” pintaku
“Okeh sayang.” jawab riko ngeledek
***
            Di kelas aku mulai berpikir. Aku disekolahin sama bapak dan ibu tujuannya agar aku fokus belajar tapi kenapa aku malah kayak begini. Aku telah mengecewakan keluargaku. Aku harus mulai melihat mana yang benar dan mana yang salah. Aku harus melakukan perubahan seperti apa yang dikatakan kakak.
“Aku harus mengakhiri semua ini, aku akan mutusin Riko dan fokus belajar, ini demi kebaikanku dan juga Riko.” gumamku dalam hati sembari menitikan air mata
***
            Bel pulang sekolah berbunyi, kebetulan sekali aku bertemu Riko. Aku pun mengatakan kepadanya jika aku ingin membicarakan sesuatu. Kita berdua memutuskan untuk membicarakan hal ini di taman sekolah.
“Riko? Sebelumnya maafin aku ya?.”  kataku bimbang
“Ada apa sih rin? Kok kamu kelihatan sedih?.” tanya riko
“Riko aku mau kita putus.”
“Loh… emang kenapa rin? Aku salah apa sama kamu?.” tanya riko penasaran
“Kamu nggak salah kok, aku ingin kita berdua bisa fokus belajar, ini demi kebaikan kita, jika kita berjodoh tuhan pasti akan mempertemukan kita kembali suatu saat nanti.” jawabku
“Kalau ini keputusan yang terbaik, aku akan menerimanya.” ucap Riko
“Sebenarnya berat banget nglepasin kamu, tapi mau gimana lagi.” kata Arin
“Kita kan masih bisa bersahabat rin, bukan berarti kita putus semuanya akan berakhir.” ucap Riko
“Makasih ya, kamu udah mau ngertiin aku.” jawab Arin
***
            Satu bulan berlalu sejak kejadian aku mutusin Riko dan sampai sekarang kita masih bersahabat. Tanpa kusadari ternyata UN sudah semakin dekat. Dihitung pakai jari saja bisa, mau dibilang takut sebenarnya tidak, dibilang nggak pusing sebenarnya pusing juga. Campur aduk banget deh ini rasa. Teman-teman banyak yang mengeluh ini itu. Ada yang bilang kalau UN itu nakutin, bikin tegang, dan lebih parahnya lagi ada yang bilang kalau UN itu penghalang. Dengan segenap rasa keinginan tahuku, aku pun meminta pendapat bapak akan hal itu.
“Pak, Arin mau tanya pendapat bapak tentang apa yang teman Arin katakan tentang UN.” tanyaku
“Memangya temanmu itu bilang apa toh rin?” tanya bapak balik
“Ini pak tadi disekolahan masa ada teman Arin yang bilang kalau UN itu penghalang.” jawabku enteng
“Ualah dalah… pemikiran kuno macam apa itu. Tentu saja nggak benar, coba renungin apa yang  bapak bilang, kalau UN memang benar sebagai penghalang, kenapa malah banyak orang yang umurnya sudah bisa dibilang tua malah ikut kejar paket? Mereka berusaha untuk mendapatkan ijazah dengan cara mengikuti UN  yang mana di masa mudanya mereka tidak memiliki kesempatan untuk itu, dan kini mereka berusaha untuk mengambil apa yang seharusnya menjadi miliknya dengan tujuan hidupnya akan lebih baik lagi.” ucap bapak
“Kalau begitu UN bukanlah penghalang ya pak? Tapi menjadi awal untuk sebuah kehidupan yang lebih baik.” tanyaku kembali
“Iya betul sekali kamu rin.” jawab bapak
“Kalau begitu terimakasih pak, sebagai hadiahnya Arin akan buatkan secangkir kopi untuk bapak.” kata Arin
“Hahaha… ada-ada saja kamu rin.” tawa bapak
***
            Saatnya tiba, UN sudah ada di depan mata. Aku harus bersikap lebih tenang agar hasilnya maksimal. Sebelum bel masuk berbunyi, banyak temanku yang menanyakan kenapa aku bisa setenang ini.
“Rin, kok bisa sih kamu setenang itu? Padahal aku takut banget loh.” tanya temanku Dewi
“Kuncinya percaya diri wi, kalau kamu yakin kamu bisa menyerap dengan baik proses belajar selama tiga tahun ini, aku juga yakin kamu pasti akan bisa.” jawabku santai
“Oh begitu, jadi masalahnya adalah aku belum bisa menyerap proses belajarku selama tiga tahun ini dengan baik ya?.” tanya Dewi
“Itu mah karena kamunya yang malas.” jawabku sambil tertawa
“Mentang-mentang udah belajar dengan matang jadi sombong nih.” sindir dewi
“Maaf wi, ya nggak gitu lah. Lagian kamu pacaran mulu sama kakak celana abu-abu itu kan?.” tanyaku
“Ih apaan sih? Nggak jelas.” jawab Dewi
“Jujur aja deh! Muka kamu aja udah kayak kepiting rebus. Masih aja nggak mau ngaku.” ledek Arin
“Awas kamu ya rin” kata Dewi mengancam
***
            Aku mengerjakan soal UN dengan sangat optimis, sungguh-sungguh, dan teliti. Yang ada dalam benakku adalah melakukan yang terbaik sesuai dengan kemampuan yang aku miliki. Aku berharap sangat besar, semoga saja nilaiku cukup memuaskan agar bisa membuat kedua orang tuaku. Selain itu, aku juga ingin membuktikan kepada kakakku bahwa aku telah melakukan perubahan yang mengantarkanku pada sebuah keberhasilan. Optimis adalah kunci kehidupan. Jika aku mengharapkan keburukan maka ia akan datang, dan sebaliknya jika aku memimpikan kebaikan dan keberhasilan maka tak ada yang tidak mungkin. Aku akan memimpikan keberhasilan dan aku sangat yakin keberhasilan pasti akan menghampiriku esok hari.
***
            Tiga minggu telah berlalu, tanpa disadari pengumuman akan segera diberikan. Ibu datang bersamaku untuk acara perpisahan dan pelepasan ini. Sekarang aku justru merasakan takut yang luar biasa. Aku takut jika hasil yang aku raih tidak sesuai dengan apa yang aku dan keluargaku harapkan. Aku takut mengecewakan kedua orang tuaku dan juga kakakku yang telah memberiku sebuah kepercayaan yang cukup besar. Aku pun mulai membayangkan yang tidak-tidak.
“Rin, kamu kenapa? Ibu lihat kok kamu gelisah?.” tanya ibu
“Arina takut bu.”
“Takut kenapa rin?.” tanya ibu kembali
“Bu, Arin takut kalau pencapaian yang aku capai nggak sepadan dengan apa yang bapak, ibu, dan kakak harapkan.”
“Kan kamu yang bilang kalau optimis itu kuncinya, berharap sesuatu yang baik aja biar   hasilnya juga baik rin.” saran ibu
“Baik bu, Arin akan berpikiran yang positif.”
***
            Apapun hasilnya nanti, setidaknya aku sudah memberikan yang terbaik. Aku juga sudah menenangkan hati ini dan berpikiran positif, semoga saja tuhan mengabulkan doaku setelah mendengarkan semua keinginan yang ada dalam hati kecil ini. Acara demi acara telah dilewati. Merasa berjalan di karpet merah dengan kebaya merahku ini pun sudah aku rasakan. Yang belum adalah pengumuman siswa terbaik yakni sepuluh besar. Hati dag dig dug seperti sound system mau pecah pu aku rasakan saat ini. Rasanya jantung ini seakan-akan mau copot saja. Peringkat 10, 9, 8, 7, 6, 5, dan 4 sudah dibacakan.
“Kenapa namaku belum disebut juga, aku takut, murid unggulan di sekolah ini sudah dipanggil semua, lah mana namaku? Kenapa masih belum disebut juga?.” gumamku dalam hati
“Arin, jangan bengong terus, ayo naik ke atas panggung. Jangan bikin malu, udah pada nungguin dari tadi tuh.” ucap ibu
“Emang Arin dapat peringkat berapa bu? Jangan ngeledek Arin bu.” tanyaku lesu
“Ih nih anak, kamu dapat peringkat satu nak. Kamu siswa terbaik”
“Ah mana mungkin, ibu mah ngaco.” kataku tak percaya
Teman yang ada di belakangku menepuk pundakku. Dia menyuruhku untuk maju, dia juga mengucapkan selamat padaku. Pembawa acara pun memanggil namaku kembali “Arina Saputri” karena aku belum juga naik ke atas panggung. Akupun mulai mempercayainya. Ini anugerah yang terindah. Aku bisa menggapai sebagian mimpi besarku. Di atas panggung aku diberi penghargaan sebagai bentuk apresiasi dan juga ucapan selamat dari guru-guruku. Sungguh senang hati ini. Ini pencapaian tertinggi yang pernah aku raih selama aku hidup. Hidup memang suatu tantangan yang harus dihadapi dan perjuangan yang harus dimenangkan. Kesuksesan bukanlah milik mereka yang pintar dan cerdas. Sukses adalah milik mereka yang memiliki mimpi dan berjuang mati-matian untuk menggapai mimpi itu. Aku ini memang bukan siapa-siapa namun bukan berarti tidak bisa apa-apa.
***
            Sesamapainya di rumah, bapak, ibu, dan kakak memberiku ucapan selamat. Aku sangat bahagia mendengarnya.
“Arin, selamat ya! Kamu berhasil membuktikan perubahan yang kau lakukan dengan hasil yang memuaskan ini.” ucap kakak
“Iya kakak, semua ini tidak lain berkat dukungan dan doa kakak yang selalu menyertai Arin, terimakasih kak.” jawabku
“Bapak bangga padamu rin, tidak sia-sia bapak banting tulang nyekolahin kamu.” ucap bapak
“Makasih pak, Arin bangga punya seorang bapak yang bertanggung jawab seperti bapak.”
“Dijaga terus ya nak pencapaian ini, semoga bisa menjadi acuan untuk menjadi yang lebih baik lagi kedepannya.” doa bapak
“Amin…” ucap kakak, ibu, dan aku bersamaan
“Arin sayang sama kalian semua.” kataku haru
***
            Sinar rembulan malam ini sungguh terang memberikan kehangatan bagiku. Berbaring pun terasa sangat nyaman seakan bintang turun mendekat dan menemaniku.. terimakasih tuhan untuk semua kebahagiaan ini. Aku teringat semua kenangan indah yang aku miliki, semangat yang diberikan kakak, dan kasih sayang bapak serta ibu. Aku membayar mahal kebahagiaan ini dengan melepas cinta pertamaku. Namun aku tak akan pernah menyesalinya, ini sudah menjadi jalannya, setidaknya aku sudah pernah mendapatkan cintanya. Aku mulai meneteskan air mata. Aku merasa semua kebahagiaan dunia telah aku dapatkan. Entah mengapa kedua bola mata ini sangat berat untuk terus kubuka, aku ingin sekali menutupnya. Aku pun tertidur dengan sangat pulas dengan senyuman kecil di pipiku.
***
            Di pagi harinya, ibu sudah mulai memasak makanan kesukaanku sebagai hadiah untuk keberhasilanku kemarin. Karena aku tak kunjung bangun, ibu menyuruh kakakku untuk membangunkanku.
“Riski, coba kamu bangunin Arina. Sudah jam segini kok belum bangun juga.” perintah ibu
“Baik bu. Riski akan pergi ke kamarnya Arina.” jawab Riski
            Sesampainya di depan kamar, Riski mengetuk pintu sampai tiga kali.
“Arina nggak biasanya kayak gini. Lagi ngapain tuh anak dipanggil kok nggak nyaut sama sekali.” gumam Riski dalam hati
“Rin, bangun udah jam tujuh nih! Mandi buruan entar sarapan bareng.” teriak Riski
Karena tidak membukakan pintu, akhirnya kakak terpaksa masuk. Riski tak percaya akan hal ini.
“Masa sih Arina belum bangun jam segini. Hal yang aneh. Saking bahagianya wajahnya bisa secerah ini.” gumam Riski dalam hati
Riski mencoba untuk membangunkan Arin dengan menggerak-gerakan tubuh Arin.
“Tangannya kok dingin banget sih nih anak.” gumam Riski kembali
Riski mencoba membangunkan kembali tapi Arina tak kunjung membukakan matanya. Riski berpikir untuk mengagetinya dengan menutup hidungnya. Saat hendak menutupnya, Riski merasa kalau Arina nggak bernafas. Riski mulai panik dan akhirnya menangis tersedu-sedu.
***
            Bapak dan ibu yang mendengar tangisan putera sulungnya langsung berlari untuk menghampirinya.
“Riski kamu kenapa? Kenapa kamu nangis begini?.” tanya ibu panik
“Arina bu.” jawab Riski sambil menangis
“Arina kenapa? Dia sedang tidur kok.” tanya ibu kembali
“Ibu periksa saja nafasnya!.” pinta Riski
Akhirnya bapak yang memeriksanya. Bapak terkejut dan menangis. Ibu yang belum bisa menerima kenyataan malah membentak bapak dan Riski.
“Kalian berdua kok tega sih bilang sesuatu yang buruk tentang Arina? Dia keluarga kita!.” tanya ibu dengan nada tinggi
“Bu, ibu harus terima kenyataan. Anak bungsu kita telah kembali pada pangkuan Allah SWT.” jawab bapak dalam tangisannya
“Nggak pak, nggak mungkin dia pergi secepat ini.” kata ibu lemah sambil menitikan air mata
“Ibu yang ikhlas, relakan dia pergi dengan tenang.” pinta bapak
***
            Aku meninggalkan keluargaku dengan sangat cepat. Aku meninggalkan sebuah prestasi yang cukup membuat bangga keluargaku. Meski sudah merelakan kepergiaanku namun masih tetap saja ada kesedihan yang mendalam di hati mereka.
“Perpisahan bukanlah akhir dari segalanya rin, melainkan sebuah jalan untuk menuju sebuah keabadian. Kakak akan berusaha menggapaikan mimpimu yang belum sempat kau gapai. Percayalah kakak menyayangimu lebih dari banyaknya bintang di langit dan melimpahnya ikan di laut. Kakak akan selalu merindukanmu di sini.” ucap Riski sembari meneteskan air mata


~ SELESAI ~


0 comments:

Post a Comment